Air susu dibalas dengan air tuba. Tak sia – sialah pribahasa itu dibuat. Mungkin bangsa ini lupa bagaimana pahlawan kita rela kaki dan tangannya patah, rela matanya hilang tertembak, bahkan rela nyawanya hilang hanya untuk satu kata MERDEKA. Merdeka atau mati ?, sama saja, memang disaat itu hanya ada dua pilihan mau mati atau merdeka?
Lucu melihat pemimpin bangsa ini sekarang, tertawalah sekerasmu melihat pemimpin bangsa ini sekarang. Tetesan darah dan ribuan nyawa hilang hanya untuk satu kata MERDEKA tampaknya sudah dilupakan oleh mereka yang haus akan kekuasaan saja bahkan terkesan pengecut. Lucu ? betapa tidak untuk mempertahankan lautnya saja dari jarahan kapal nelayan negara tetangga saja sudah tak bisa. Ingaaaat! Pahlawan kita dulu bukan hanya merebut laut saja. Tapi seluruhnya dari sabang sampai merauke. Apa kau lupa akan hal itu?
Menangis, menangis, menangis. Menangis hal yang biasa memang. Pahlawan kita dulu juga menangis. Tetapi menangis menahan sakit disekujur tubuhnya hanya untuk memerdekakan dirinya dan bangsanya. Sekarangpun banyak yang menangis tapi menangis bukan karena mereka berperang merebut kemerdekaan. Tetapi menangis berperang menahan perutnya dari kelaparan.
Tertawa dan menangis, kalau tertawa ya tertawa, kalau mau menangis ya menangislah. Jangan bingung mau menangis atau tertawa. Namun, itu keharusan bagi buruh dan petani kita yang seolah – olah dibuat dagelan oleh “mereka” . tentu hal yang paling membahagiakan bagi petani adalah ketika datang musim panen. Namun entah mengapa kini justru banyak petani menangis ketika datang musim panen. Begitupun buruh mereka seharusnya tertawa ketika hari raya datang sebab mereka dapat berkumpul bersama keluarganya. Namun mengapa banyak buruh justru menangis ketika hari raya. Biar mereka yang menjawab pertanyaan ini sendiri dan merasakannya. karena sejatinya pemimpin kita sedang bingung, bingung dengan kesibukannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar